Kamis, 07 Februari 2013

Puisi-Puisi IBU


Ibu, ingin kusajakkan senyummu, seraya kupilih dan kupilah ribuan kata, tetapi tak jua bisa kurangkai kalimat, yang paling senonoh untukmu. Biarlah puisi untukmu tetap kupingit di hati, jika berkenan, baca saja rangkaian prosa pada raut wajahku, karena aku tak pernah memakai cadar dihadapanmu, tangisku adalah tangisku dan tawaku adalah tawaku. Aku mengenal kasihmu dengan sendiriku, tanpa ada yang mengajari, tanpa pula referensi, dan karenamu juga aku bisa mengenal rindu, yang kuyakini hingga riwayatku ditelan bumi. Ibu, aku tahu kita mencintai kesahajaan, kita membenci kemunafikan, maka untuk apa kututup rapat aurat tabiatku, jika hanya untuk menyenangkanmu. AKU INGIN MENCIUMU SETIAP HARI IBU Ibu, boleh kan aku merayu? aku ingin berbaring di pangkuanmu, mengadu tentang hari-hari lelahku, tentang keras dunia, yang tak seteduh kasihmu, dan ingin kupertanyakan, mengapa di luar sana, tak pernah kutemukan keikhlasan, seperti keikhlasanmu padaku. Ibu, Belailah rambutku, pijatlah lenganku, usaplah dahiku, aku ingin membasahi pangkuanmu, dengan air mataku, dengan keringat dinginku, dan ninabobokan aku, bacakan kisah-kisah tentang indahnya surga, hingga aku terlelap. Ibu, Ibuku sayang, acap kali kulihat, orang-orang hanya sempat mencium ibunya, sekali saja, saat jasad ibunya hendak dikebumikan, sungguh, aku tak ingin seperti itu, maka ijinkan aku, untuk menciummu setiap hari. CERITA BUNDA Bunda, tahukah kau apa yang kutunggu? katakanlah, akulah tokoh dalam dongengmu, ksatria yang kau puji, bersenjatakan nurani, yang menepati janjinya pada bumi. Mengenai perahu yang tak kunjung menepi, pantaskah untuk dinanti? biarkan dia menjemput nasibnya, serupa dengan retaknya tanah kering, serta merta akan menutup kembali, oleh deru hujan, sahabatnya sang petir. Bunda, Malin Kundang telah menjadi batu, akankah usai ceritamu? Lalu bagaimana dengan harapanku, untuk membangun istana berdinding salju, yang menyejukkan hati semua manusia, seperti di negeri dalam dongengmu. ASAL IBU SENANG Khusuk hening dalam tahajjudmu, tertengadah dan merunduk dalam keihlasan, menghiasi malammu yang sepi merajuk, tiada beban yang melingkar di pundakmu, semua kau luruhkan untukku, anakmu. Ibu, walau di matamu, selamanya aku adalah ranting kecil, yang kau khawatirkan patah ditiup angin, dan kau cemaskan akan rapuh dan lemahku, tapi sesungguhnya aku ingin merindang, melindungimu dari sedih nestapa. Andai aku dipanggilNya lebih dulu, aku ingin selalu datang ke bumi setiap malam, bergayut di sayap malaikat pembawa rahmat, yang menjinjing seribu salam indah dari surga, untukmu, ketika air matamu menetes di atas sajadah. Aku ingin berlebihan di hadapanmu, untuk menutup kekuranganku, walau harus kupaksakan, tapi tak apalah, asal Ibu senang, karena kesenangamu adalah nyawaku KASUR KAPUK Mak, aku pulang, seperti biasa, tolong siapkan air hangat di tungku, buat aku mandi malam ini. Kulihat kasur kapuk itu mulai lapuk, dua warnanya berubah menjadi tiga, oleh bocoran atap yang tak rapat. Biarlah esok aku yang menambalnya. Mak, harusnya kau tak lagi bekerja, menguras tenaga untuk bisa belanja, biarlah kupikul kayu bakar itu, agar punggungmu tak lagi membiru. Mak, kalaulah aku menagis, tangisku itu hanya untukmu, kalaulah aku meratap, jangan pernah kau menatap. Mak, aku malu jadi anakmu. setiap saat melihat dukamu, tapi tak pernah kudengar rintihmu, walau nestapa enggan beranjak darimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar anda

 
blogger template by arcane palette